Jumat, 06 April 2018

Program Cuci Otak Orientalisme

Pengantar Tokoh
Program Cuci Otak Orientalisme
Dr. Daud Rasyld, Ph. D

Islam sebagai knowledge (Tsaqofah) memang merupakan bidang yang terbuka luas bagi siapa saja yang ingin melakukan kajian terhadap dien ini. Konsekuensi sebagai obyek kajian akan membuka
peluang untuk diberi interpretasi oleh si pengkaji, peneliti (researcher) secara benar atau salah. Apalagi yang melakukan kajian itu sejak dari awal sudah membuat prakonsepsi terhadap Islam, seperti sikap apriori, kebencian dan permusuhan. Maka kajian yang akan dihasilkannya akan
sarat dengan distorsi, penyimpangan dan pemutarbalikan fakta.

Tetapi bukan tidak mungkin si peneliti berasal dari kalangan yang mencoba mengamati obyek kajiannya secara
jernih dan netral, maka hasil kajiannya juga akan berbeda dengan jenis yang pertama. Kesimpulan-kesimpulannya
akan bercorak obyektif dan netral, tanpa dipengaruhi oleh sikap-sikap subyektifitas dirinya sebagai pemeluk agama
tertentu yang jauh berbeda dengan obyek kajian tadi.

Gambaran diatas, persis terjadi dalam bidang kajian Islamic Studies. Banyak pihak yang mencurahkan perhatiannya terhadap kajian Islam dari kalangan Non-Muslim dengan motivasi dan interest yang berbeda-beda. Bahkan perhatian itu tidak terbatas pada bidang yang general saja, akan tetapi sudah mengerucut ke bidang bidang yang lebih spesifk dari Islamic Studies. Sederet nama dan karya tulis dapat kita temukan di bidang Al-Qur'an. Begitupun di bidang Hadist, juga di bidang Fiqh, Ushul Fiqh, Sastra Arab, sejarah dan Peradaban Islam, Politik Islam, Pemikiran Islam dan bidang bidang lain, seperti budaya masyarakat Muslim tertentu dan organisasi organisasi Islam.

Dalam kunjungan saya ke United Kingdom (Inggris) musim panas 2004, saya sempat berjumpa dengan beberapa orang orientalis. Di antaranya Prof Morris di University of Exeter. Beliau ini alumni Harvard Univensty, USA, ahli dan mengajar Islamic Misticism (at-Tasawwuf
al-Islamy), yang belakangan mendorongnya untuk masuk Islam, akan
tetapi menganut faham Syi'ah.

Di Unitersity of Manchester saya sempat berjumpa dengan doktor muda ,berasal dan Jerman, yang menekuni seorang pemikiran tokoh dan intelektual Muslim dari Syria, Syeikh Dr. Muhammad Ramadhan al-Buthy. Di mejanya dan ruang kerjanya dipenuhi oleh karya karya al-Buthy. Pada awalnya saya sempat terkejut juga, perhatian mereka bukan kepada sosok ilmuwan yang sudah tidak ada, tetapi juga pada tokoh yang masih hidup dan berkarya.

Jadi yang saya pahami, bahwa mereka benar-benar bekerja keras dalam menekuni bidang yang sudah dipilihnya, yang jarang kita temukan sikap seperti ini di negeri kita di kalangan peneliti dan dosen dosen kita. Berapa banyak doctor keluaran IAIN se Indonesia, jika kita uji kemampuan bahasa Arabnya, kita akan geleng-geleng kepala. Fakta ini saya dapakan di lapangan, ketika mengajar dan menguji para calon doctor (S3) dari tahun 1996-1999 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Jadi bukan dari cerita-cerita orang. Bahkan mereka lebih bangga ketika mampu menguasai bahasa Inggris daripada bahasa Arab, padahal bidang yang mereka kaji adalah Studi Islam.

Kaum Orientalis - sebutan popular untuk kalangan Barat yang melakukan kajian terhadap Islam dari berbagai aspeknya - mempunyai latar belakang ideologis sejak awal lahirnya hingga perkembanganya dewasa ini. Berawal dari semangat perang salib yang ingin mencari titik-titik lemah Islam untuk dapat di taklukan tanpa menggunakan senjata militer. Kajian orientalisme terus tumbuh dan berkembang dari zaman ke zaman dengan bekerjasama dengan kolonialisme Barat yang menjajah dunia Islam hingga pertengahan abad ke dua puluh Masehi.

Sejak era kemerdekaan Negara-negara Islam dari penjajahan Barat, fungsi missionaris nya tetap berjalan. Tulisan-tulisan yang mereka hasilkan penuh dengan penyesatan, pemutarbalikan dan penyelewengan. Tujuannya untuk membuat kaum Muslim menjadi ragu pada agamanya dan dalam kondisi seperti itu, masuklah kaum missionaris dengan sejumlah iming-iming dan janji-janji kepada mereka, agar mereka tergiur untuk meninggalkan Islam, atau paling
tidak kehilangan rasa percaya terhadap diennya sebagai satu-satunya dien yang benar. Sementara kalangan Muslim yang terdidik yang sudah dipengaruhi pemikiran orientalis diharapkan ikut menyebarkan pemikiran yang membuahkan keraguan terhadap Islam kepada ummatnya sendiri melalui tulisan mereka di surat-surat kabar dan jurnal, dan ceramah-ceramah mereka.

Kaum Muslimin di Indonesia saat ini menghadapi cobaan keimanan yang sangat berat. Tawaran beasiswa ke Universitas-universitas Islam dan ormas-ormas Islam datang dari berbagai negara
Barat seperti AS, Inggris, Belanda, Kanada, Australia, dan lain-lain. Misalnya British Council, AUSAID, DAAD. Lain lagi beasiswa dari Ford Foundation dan lainnya. Sementara pertahanan diri dan benteng keimanan kita tidak begitu kuat untuk menolaknya ataupun menyaringnya. Belakangan ini tawaran-tawaran itu tidak hanya sebatas dosen, tetapi juga aktifis ormas-ormas Islam dan santri di Pesantren. Artinya, orientalis tidak hanya mencuci otak para dosen Islamic Studies kita, tetapi juga merambah hingga santri-santri di pesantren dan para aktifis ormas Islam di Indonesia.

Sekarang di Australia, sudah tersedia orientalis yang menguasai berbagai masalah keislaman di Indonesia. Ada ahli masalah (Nahdhatul Ulama), pakar tentang Muhammadiyah, bahkan pakar
tentang PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Mereka menjadi pakar NU di bidang ormas dan parpol Islam itu karena mendapatkan bahan mahal yang disajikan oleh para mahasiswa S2 dan S3 yang mereka bimbing. Jadi kita membuka isi perut kita dan menyerahkannya kepada mereka, dengan imbalan "kertas" yang bertuliskan pemberian gelar Ph.D, plus beasiswa bulanan yang sekadar cukup-cukup makan.
Hasbunallahu Wani'mal Wakil.

Informasi mahal itu tentu tidak sebatas bahan bacaan di perpustakaan Universitas. Tetapi informasi berharga bagi intelijen dan kaum missionaris untuk memudahkan gerak langkah mereka menguasai umat Islam. Apakah ini disadari oleh teman-teman kita
yang belajar di negara-negara barat itu? Dalam hemat saya, ada sedikit
orang yang sadar, namun yang terbanyak justru terlena dan sama sekali tak terpikir dengan bahaya yang mengancam itu. Apalagi mereka yang sudah mendapat posisi mengajar di universitas-universitas Barat seperti AS, Australia dan sebagainya. Adapun yang masih sadar
merasa tidak ada alternatif lain, sehingga menganggapnya sebagai kondisi darurat. Tapi benarkah itu sebuah darurat?

Buku ini menyingkap lebih dalam lagi keterkaitan orientalisme dengan kaum Yahudi sehingga memberikan gambaran dan informasi dengan yang lebih lengkap kepada pembaca.

Jakarta, 25 Juni 2007
Dr. Daud Rasyid Ph.D



Image result for hary tanoe
https://news.okezone.com/read/2016/12/04/337/1558573/yayasan-peduli-pesantren-besutan-hary-tanoe-resmi-diluncurkan